Sunday, March 27, 2011

“Al-Adah Muhakkamah“

Oleh abujidal

Kita kerap mendengar pernyataan aktivis aliran yg “berbau” wahabi, bahwa fakta sosial tak bisa menjadi dasar landasan penetapan hukum. Dan mereka kerap mengulang-ulang argumen serupa. Rupanya, statemen ini menjadi semacam “doktrin tauhid” di kalangan mereka.
Hukum, menurut mereka, hanya bisa disandarkan atas dalil agama (al-Qur’an dan Hadits sohih). Dalil atau teks agama mengatasi segala-galanya. Tindakan apapun, selain Nabi Muhammad, adalah bid’ah dlolalah, tidak bisa menjadi standar normatif. Yang bisa menjadi standar hanyalah teks agama.

Apakah argumen mereka ini tepat, terutama dilihat dari tradisi teori hukum Islam klasik sendiri? Tulisan ini untuk memberikan kritik atas cara berpikir ajaran wahabi yang, jujur saja, merupakan ciri-khas kaum “tekstualis” di manapun.


Dalam pandangan ulama fikih, argumen semacam ini sama sekali tak tepat. Memang, dalam teori hukum Islam, dikenal empat sumber hukum utama, yaitu Quran, hadis, ijma’ (konsensus ulama) dan qiyas atau analogi.
Tetapi, sumber hukum bukan hanya empat, sebab ada sumber-sumber lain yang kedudukannya memang diperselisihkan oleh para ulama (al-adillah al-mukhtalaf fiha). Statemen mereka bahwa diluar al-Qur’an dan hadits tidak bisa menjadi sumber hukum, sama sekali tidak tepat, sebab di luar empat sumber utama di atas, ada sumber-sumber lain yang diakui oleh ulama fikih, termasuk fakta sosial.

Dalam pandangan mereka, dalil agama sudah cukup dalam dirinya sendiri. Padahal dalam standar ilmu ushul fikih klasik, argumen ala wahabi ini jelas sama sekali salah. Dalam hukum fikih, fakta sosial jelas bisa menjadi dasar penetapan hukum. Karena itulah ada kaidah terkenal, “taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminati wa al-amkan,” hukum berubah sesuai dengan waktu dan tempat.

Perbedaan mazhab dalam Islam jelas terkait dengan perbedaan konteks sosial di mana pendiri mazhab itu hidup. Kenapa mazhab Abu Hanifah sering disebut sebagai mazhab ahl al-ra’y, pendapat yang cenderung rasional, karena mereka hidup di Kufah, kota tempat persilangan budaya, kota di mana kita jumpai warisan dari banyak peradaban besar sebelum Islam.

Sementara mazhab Maliki lebih cenderung berpegang pada “sunnah” penduduk Madinah (dikenal dengan ‘amal ahl al-Madinah) karena memang itulah kota tempat Nabi dan sahabatnya hidup, sehingga sunnah penduduk Madinah dianggap sebagai norma.

Sudah tentu, fakta sosial semata-mata memang tak cukup untuk menetapkan sebuah hukum dalam pandangan teori hukum Islam klasik. Fakta sosial tetap harus ditimbang berdasarkan teks. Tetapi teks saja juga tak cukup, karena teks juga dipahami berdasarkan perubahan-perubahan lingkungan sosial yang ada. Dengan kata lain, ada hubungan simbiosis antara teks dan konteks sosial.

Ini memang pembahasan yang kompleks. Yang tidak pernah belajar ushul fikih, penjelasan ini mungkin terlalu teknis, tapi intinya pemahaman mereka bahwa fakta sosial tak bisa menjadi sumber hukum, sama sekali tak tepat, untuk tak mengatakan keliru sama sekali.

Sementara itu, banyak sekali ketentuan hukum dalam fikih yang digantungkan pada adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Itulah sebabnya, dalam fikih dikenal kaidah yang sangat populer, “al-’adah muhakkamah“, kebiasaan sosial bisa menjadi sumber hukum.
Sudah tentu adat bukan sumber hukum yang mandiri, sebab harus ditimbang berdasarkan parameter teks agama.
Contoh sederhana adalah mengenai mas kawin atau mahar. Quran menegaskan bahwa seorang lelaki harus memberikan mas kawin kepada perempuan yang dinikahinya (wa aatu al-nisa’a shaduqatihinna nihlah, QS 4:4). Tetapi Quran tidak menerangkan, berapa jumlah mahar yang harus diberikan oleh suami kepada isterinya.

Di sini, ada ruang “legal” yang dibiarkan terbuka oleh teks agama. Adat masuk untuk mengisinya. Jumlah mahar, menurut ketentuan yang kita baca dalam literatur fikih, diserahkan saja pada adat dan kebiasaan sosial yang ada. Oleh karena itu, jumlah mahar berbeda-beda sesuai dengan adat yang berlaku dalam masyarakat. Itulah yang dikenal dalam fikih sebagai “mahr al-mitsl“, yakni mas kawin yang sepadan dengan kedudukan sosial seorang isteri dalam adat dan kebiasaan masyarakat setempat.

Fakta ini dengan baik menunjukkan bahwa kebiasaan sosial bisa menjadi sumber hukum. Teks saja tidak cukup kalau tak dilengkapi dengan konteks sosial.
Kalangan santri yang belajar di pesantren-pesantren tentu sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa hukum bisa berubah-ubah karena perubahan konteks. Fatwa beberapa kiai berubah-ubah dari waktu ke waktu karena perubahan konteks sosial. Pada zaman kolonial Belanda dulu, banyak kiai yang berfatwa bahwa memakai celana dan jas hukumnya haram, karena menyerupai adat kebiasaan kaum kolonial yang “kafir”. Setelah zaman merdeka, kiai-kiai mulai berubah pendapat dan bisa menerima “baju kolonial” itu, karena konteksnya sudah berbeda. Yang perlu dipahami adalah bahwa bukan hukum al-Qur’an atau hadits nya yg berubah, tapi produk hukum yg dikeluarkan itu yg berubah, karena memang keadaan dan konteksnya sudah berubah.

Jadi, sekali lagi, pemahaman dan proses pembuatan produk hukum oleh orang-orang yang mengaku bermanhaj salaf  itu sama sekali berbeda dengan kaidah yg dipahami oleh ulama salaf yg sebenarnya !